Ini
bukan puisi, bukan juga curahan hati. Saya ingin berbagi pengalaman pribadi
yang mungkin seharusnya tidak diceritakan, tetapi mengingat banyak pertanyaan
yang dilontarkan teman-teman mengenai tugas akhir saya, mungkin saya akan mencoba
menceritakannya dengan tidak mentah-mentah.
Berawal
dari "berakhirnya" perjuangan saya yang sebenarnya ingin merasakan
pedihnya perjuangan teman-teman seangkatan saya yang lain. Yaitu perjuangan
pahit yang menguji mental setiap mahasiswa-mahasiswi, drama, keringat,
terkurasnya uang jajan, bahkan berdarah sekalipun (oke, ini lebay). Sedih sekali, saya mendapatkan tugas akhir yang
terbilang "instan" bagaikan foto yang keluar dari kamera Polaroid. Jalani dulu saja, pikirku. Entah
apa lagi hal positif yang kudapatkan selain lulus lebih cepat. Pada
akhirnya saya mengajukan judul kajian Analisis
Kontrastif Sintaksis Bahasa Perancis dan Bahasa Turki di hadapan dosen dan
juga teman-teman seperjuangan saya.
Setelah
tiga bulan memperjuangkan karya ilmiah yang mungkin value-nya belum seberapa dengan skripsi, bahkan rela melakukan
penelitian dan membuat artikelnya dalam bahasa Perancis meskipun tidak diminta,
saya mengumpulkan tugas akhir dengan pujian positif serta ketebalan yang
membuat dosen saya takjub. Sebab tugas akhir yang saya buat terbilang
"baru" di jurusan tempat saya studi selama tiga tahun, delapan bulan
dan dua puluh hari, meskipun tugas tersebut hanyalah sebatas kajian dari kajian
luasnya yang telah dilakukan oleh orang Turki itu sendiri. Saya lulus dengan
nilai akhir yang sangat membanggakan kedua orang tua saya, serta mampu
memberikan "hadiah" lulusan
terbaik kepada mereka.
Sesaat
setelah wisuda, saya langsung ditanya oleh banyak orang mengenai tugas akhir.
Sejujurnya, saya sedang menanggung malu seumur hidup hanya karena hal tersebut,
sebab semua orang di jurusan tempat saya mengenyam pendidikan sarjana mengetahuinya.
Namun untuk menghilangkan rasa malu tersebut, akhirnya saya menjawabnya, bahkan
mencurahkan isi hati saya yang sebenarnya saya inginkan (baca: skripsi) untuk
dapat lulus. Mungkin bagi beberapa orang: bukanlah
seorang mahasiswa apabila tidak mengikuti jalur skripsi.
Saya
langsung menjelaskan tugas akhir yang saya maksud sebelumnya, yaitu jalur non-skripsi, dan saya berkata bahwa
tugas akhir yang saya jalankan tidak hanya untuk orang-orang yang
"didesak" lulus saja (salah satunya seperti mahasiswa semester
13-14), tetapi juga: orang-orang yang terbilang pintar oleh orang-orang sekitar
mereka, tetapi sudah benar-benar bekerja atau bahkan sudah ditunggu calon teman
hidup (#eaaaaaa). Saya bahkan memberikan "pelajaran" agar banyak
mahasiswa-mahasiswi mengerjakan skripsi, dan tidak seperti saya.
Saya
bahkan meminta mereka untuk tidak takut, karena saya juga menjelaskan bahwa
tugas akhir tersebut TETAP membuat karya tulis ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan dan ada beberapa kampus lain yang bahkan tidak seperti
jurusan kami sistem jalur non-skripsinya. Pernahkah kalian mendengar istilah ujian komprehensif atau disebut juga kompre sebagai sebutan singkatnya?
Inilah yang menurut saya lebih instan lagi, saya tidak tahu pendapat orang lain
yang mengalami, tapi saya mohon jangan bully
saya di kolom komentar. Bagi yang belum tahu, silakan telusuri di Google, sebab setiap kampus yang
mengadakan jalur non-skripsi berupa kompre sistemnya berbeda-beda. Saya sendiri
tidak mengalami ujian komprehensif, namun beberapa teman seangkatan saya
mengikuti uji kompetensi lulusan (itu
di luar tugas akhir tapi baru dicoba di jurusan kami, seingat saya begitu) sekaligus
skripsi.
Selain
itu, saya juga dicurhati adik-adik kelas yang ingin lulus cepat tetapi mengikuti
jalur non-skripsi. Kak, saya sebenernya
di-acc tapi tidak sanggup mengerjakannya atau kak, saya pengennya cepet lulus dan ambil jalur kayak kakak, etc...
etc... Saya pikir, sayang banget lhooo,
padahal kamu enak banget judulnya diterima, kenapa nggak dijalanin dulu aja?,
sekaligus berharap adik-adik lebih baik lagi dari kakak-kakaknya. Sebab
pengujian mental yang sesungguhnya adalah setelah lulus S1.
Above all, saya tetap bersyukur atas apa yang
Allah SWT kasih kepada saya, dan menjatuhkan saya di jalur tersebut. Mungkin
saya malah menjadi "referensi" orang-orang yang berlomba-lomba
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd), meskipun saya masih menanggung
malu juga, hehehehe. Tetapi, mohon maaf, jangan jadikan saya panutan, sebab
masih ada kekurangan dan ruang jahiliyah di dalam diri saya ini. Namun saya
teringat satu kalimat: tugas akhir yang
baik adalah tugas akhir yang selesai, bukan yang tebal, bukan pula yang
kontennya banyak.
Gros bisous,
@naragrandis